Ada Relaksasi LTV, KPR Bisa Tumbuh 14 Persen

Bareksa • 26 Jun 2018

an image
Pekerja merampungkan pekerjaan perumahan untuk kalangan menengah di Kelurahan Palupi, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (11/2). Pemerintah memangkas anggaran Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari Rp 9,7 triliun menjadi Rp 3,1 triliun di 2018. (ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal)

Bank masih perlu mencermati potensi kredit bermasalah dari adanya relaksasi LTV tersebut

Bareksa.com - Pelonggaran rasio kredit terhadap nilai (loan to value/LTV) kredit properti oleh Bank Indonesia (BI) dinilai bisa menggenjot pertumbuhan kredit pemilikan rumah (KPR) di atas 14 persen pada semester II-2018 dibanding periode sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Namun, bank masih perlu mencermati potensi kredit bermasalah (non performing loan/NPL) dari adanya relaksasi tersebut.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menjelaskan, relaksasi LTV bisa menjadi stimulus bagi pertumbuhan KPR.

"Prediksinya KPR bisa tumbuh di atas 14 persen (yoy) di semester II-2018. Per April 2018 menurut data BI pertumbuhan kredit KPR mencapai 12,4 persen," ujar dia melalui pesan tertulis, Selasa (26 Juni 2018).

Lebih lanjut, selama ini generasi muda atau milenial yang tinggal di perkotaan terhambat membeli rumah karena uang muka (down payment/DP) yang mahal.

"Kalau LTV dilonggarkan dan DP bisa menjadi 0 persen pasti disambut generasi muda ini. Bagi kelas menengah atas akan memanfaatkan kebijakan LTV untk menambah investasi properti," kata dia.

Sebagai informasi, Loan to value (LTV) merupakan rasio maksimal (batas atas) yang ditetapkan Bank Sentral dalam memberikan pinjaman kepada kreditur (pihak peminjam). Dengan kata lain, selisih dari harga dikurangi LTV bisa disebut sebagai down payment (DP) atau uang muka pembelian.

Namun demikian, bank masih harus mencermati pergerakan NPL akibat relaksasi tersebut, meskipun BI memberikan batasan maksimal 5 persen bagi bank yang ingin memberikan fasilitas DP murah.

"Intinya pengawasan harus tetap diperketat, bank juga tidak boleh langsung jor-joran harus lihat profil per debitur. Jangan sampai sekarang demand KPR naik tapi bisa jadi bubble seperti di China karena pasar properti overheat 2-3 tahun ke depan dan menimbulkan kredit macet," tegas dia.

Oleh karena itu, Bhima menilai, seharusnya LTV diterapkan di kisaran 85-95 persen dan tergantung kemampuan tiap bank. Pasalnya, apabila DP langsung diterapkan 0 persen akan mengakibatkan peningkatan NPL.

"Saran saya soal kebijakan LTV ini juga punya batas waktu. Kalau pertumbuhan kreditnya sudah naik sesuai target bisa di turunkan alias diperketat lagi LTV-nya ke 75-85 persen. BI perlu memantau efektivitas pelonggaran LTV secara periodik," kata dia.

Di sisi lain, Direktur PT. Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) Lani Darmawan menjelaskan, aturan ini berdampak positif terhadap perbankan. Namun hal tersebut tergantung dari risk appetite bank bersangkutan, karena LTV berhubungan juga dengan faktor risiko dalam menganalisa daya bayar nasabah.

Lebih lanjut, menurut Lani, bank pada akhirnya bank perlu memperhitungkan tingkat kemampuan nasabah untuk membayar cicilan.

"Bank mempunyai policy underwriting atau analisa kredit yg sesuai dengan risk apetite dan NPL-nya sehingga LTV akan diterapkan tidak untuk semua nasabah tetapi berbeda," kata dia.

Di sisi lain, Direktur PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) Mahelan Prabantarikso mengungkapkan, relaksasi kebijakan ini memang diharapkan untuk meningkatkan pertumbuhan kredit terkait perumahan.

"Dengan harapan meningkatkan daya beli masyarakat khususnya pembelian rumah non subsidi. Bagi BTN kebijakan ini diprediksi dapat mendongkrak disbursment lebih besar lagi," kata dia.

Sedangkan dampaknya ke NPL perbankan, menurut Mahelan sampai sejauh ini di BTN masih terkendali. "Proses KPR yang dilakukan lebih prudent," ucap dia. (K09/hm)