BI Tahan CCB, Perbankan Tidak Perlu Tambah Modal untuk Salurkan Kredit

Bareksa • 17 Nov 2017

an image
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Mirza Adityaswara (kiri) dan Deputi Gubernur Perry Warjiyo (kanan) menyampaikan hasil Rapat Dewan Gubernur di Jakarta, Selasa (22/8). BI akhirnya menurunkan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate ke level 4,5 persen. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

CCB dipertahankan di angka nol persen agar bank lebih leluasa menyalurkan kredit saat permintaan melemah

Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) mempertahankan counter cyclical buffer (CCB) di angka nol persen. Kebijakan yang termasuk dalam makro prudensial ini dilakukan agar bank lebih leluasa menyalurkan kredit.

“Kami memutuskan CCB sebesar nol persen agar kegiatan intermediasi berjalan lebih baik,” ujar Gubernur BI Agus D.W Martowardojo di Jakarta, Kamis (16 November 2017).

Sebagai informasi, counter cyclical buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Dengan kebijakan CCB nol persen, berarti perbankan tidak perlu menambah modal dalam menyalurkan kredit.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengungkapkan, penetapan CCB berdasarkan perhitungan setiap enam bulan sekali. Dalam kondisi pertumbuhan kredit seperti saat ini, CCB memang seharusnya ditetapkan sebesar nol persen.

“Kalau misalnya ekonomi lagi booming, maka CCB baru akan dinaikkan,” paparnya.

Lebih lanjut, Deputi Gubernur BI Erwin Rijanto mengungkapkan, CCB merupakan salah satu kebijakan makro prudensial yang BI miliki. Pada saat pertumbuhan terlalu berlebihan, pihaknya menggunakan kebijakan ini agar bank menambah permodalan untuk mengantisipasi risiko dari tingginya pertumbuhan.

“Sebaliknya, saat ini pertumbuhan kredit belum menunjukkan pertumbuhan sehingga ditetapkan nol persen sehingga bank tidak perlu menambah permodalan,” katanya.

Agus mengungkapkan, pertumbuhan kredit pada September 2017 memang menunjukkan perlambatan, yakni mencapai 7,9 persen (yoy), menurun dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 8,3 persen (yoy).

“Secara year to date kami amati, kredit bertumbuh 3,8 persen,” ungkapnya.

Rendahnya pertumbuhan kredit tersebut karena permintaan kredit masih melemah. Ditambah pula korporasi dan bank masih melakukan konsolidasi. Dari sisi korporasi, para pelaku sedang menunggu neraca keuangan benar-benar sehat sebelum bisa mengajukan permintaan. “Mereka juga mengkaji perekonomian dunia dan perkembangan harga komoditas sebelum ekspansi,” ungkapnya.

Kemudian dari sisi bank, pihaknya juga masih melakukan konsolidasi. Menurut Agus, bank masih mewaspadai meningkatnya rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) sehingga menahan penyaluran kredit.

Sampai akhir tahun, berdasarkan rencana bisnis bank (RBB) yang disampaikan oleh bank, pihaknya menilai pertumbuhan kredit akan berada di angka 8-10 persen. Namun, kecenderungannya akan berada di kisaran batas bawah sekitar 8 persen.

Erwin melanjutkan, secara sektoral, pertumbuhan kredit sudah mulai melakukan perbaikan, namun memang belum merata. Salah satu yang menunjukkan pertumbuhan negatif adalah kredit pada sektor pertambangan.

“Sektor lain di luar tambang sudah tumbuh, meskipun tidak sebaik periode sebelumnya,” katanya.

Sementara mengenai NPL, Erwin menyebutkan, pada September 2017, NPL gross perbankan tercatat sebesar 2,93 persen, membaik dibandingkan Juni 2017 yang mencapai 2,96 persen. Penurunan juga terjadi pada loan at risk yang menurun ke angka 10,97 persen.

“Perbankan masih wait and see dalam menyalurkan kredit, namun bank sudah melihat sektor kredit yang akan dibidik seperti infrastruktur, consumer goods dan lainnya,” ucapnya.(K09)