Seiring The Fed Rate, Haruskah Suku Bunga Acuan BI Naik?

Bareksa • 15 Jun 2017

an image
U.S. Federal Reserve Chair Janet Yellen takes her seat to testify before the House of Representatives Financial Services Committee on Capitol Hill in Washington. (REUTERS/Kevin Lamarque)

Bank sentral AS juga memberikan penjelasan lebih detil mengenai pengurangan bobot portfolio obligasi

Bareksa.com – Bank Sentral Amerika Serikat sepakat untuk menaikkan tingkat suku bunga acuan kedua di 2017, meski inflasi masih berada di bawah target. Pada saat yang sama, Federal Reserve (The Fed) juga merinci rencana untuk pengetatan neraca dengan mengurangi utang secara bertahap. Kondisi ini bisa menjadi salah satu pertimbangan yang mendorong Bank Indonesia untuk mengambil langkah moneter.

Meski tingkat inflasi di bulan Mei hanya 1,9 persen atau berada di bawah target bank sentral sebesar 2 persen, rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 14 Juni 2017 waktu Washington memutuskan menaikkan target suku bunga acuan sebesar 0,25 persen. Dengan demikian, kisaran suku bunga acuan AS terbaru menjadi 1 hingga 1,25 persen.

Selain itu, seperti rencana yang akan dilakukan untuk mengurangi bobot portofolio obligasi, the Fed juga memberikan penjelasan lebih detil mengenai bagaimana akan menjalankan normalisasi neraca. Saat ini portofolio obligasi pemerintah AS senilai US$ 4,5 triliun yang meliputi surat utang pemeringah (treasury), surat utang beragun aset (mortgage-backed), dan utang lembaga pemerintah.

Meski demikian, banyak pengamat the Fed tidak menyangka FOMC akan memasukkan isu neraca dalam pernyataan resminya itu. Pasalnya, Gubernur The Fed Janet Yellen lebih cenderung membahas masalah ini dalam konferensi pers pasca pertemuan FOMC. (Baca Juga : The Fed akan Pangkas Utang QE US$ 4,2 Triliun, Ini Alasannya)

Berdasarkan informasi yang dirilis Rabu (14 Juni 2017), batas nilai neraca yang akan dilepas dimulai dari US$ 6 miliar per bulan untuk tingkat cicilan pokok dari obligasi yang akan dilepaskan tanpa diinvestasikan kembali. Sisanya akan diinvestasikan kembali.

The Fed akan menaikkan batas atas mulai US$6 miliar dalam setiap kuartal hingga 12 bulan sampai batas atas tersebut mencapai US$30 miliar per bulan. Untuk utang lembaga dan utang beragun aset (mortgage-backed), batas atas yang ditetapkan akan mencapai US$4 miliar per bulan, dengan kenaikan kuartalan US$4 miliar hingga mencapai level US$20 miliar per bulan.

Saat kedua target tercapai, total pelepasan obligasi per bulan akan mencapai US$50 miliar. Sejumlah anggota The Fed mengatakan bahwa mereka memprediksi program pelepasan obligasi akan berlanjut hingga neraca mencatatkan penurunan ke kisaran US$2 triliun hingga US$2,5 triliun.

Haruskah BI Rate Naik?

Dari domestik, Bank Indonesia juga akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 14 – 15 Juni 2017. Seperti yang pernah kami bahas, tingkat suku bunga Indonesia telah bertahan selama 9 bulan sejak Oktober 2016 di level 4,75 persen.

Di sisi lain, keadaan global seperti data pengangguran AS yang mencapai level terendahnya sejak 16 tahun terakhir di 4,3 persen serta The Fed yang kembali menaikkan tingkat suku bunga AS sebesar 25bps menjadi 1,25 persen menjadi katalis adanya probabilitas terjadinya capital outflow dari Indonesia. (Baca Juga : Inflasi pada Januari - Mei Naik 4 Kali Lipat, Haruskah BI Rate Naik?)

Analis Bareksa melihat, Bank Indonesia sudah seharusnya untuk mengantisipasi dampak negatif atas kebijakan The Fed khususnya terhadap negara berkembang dengan cara kembali menaikkan tingkat suku bunganya. Tak hanya itu, laju inflasi domestik yang diperkirakan tinggi selama bulan Ramadan juga menjadi alasan yang perlu dipertimbangkan untuk mengambil keputusan dalam RDG BI.

Selain itu, dengan naiknya suku bunga AS, peluang rupiah untuk terdepresiasi juga semakin besar. Oleh sebab itu, sudah seharusnya Bank Indonesia mengantisipasi dampak-dampak yang akan terjadi terhadap kenaikan tingkat suku bunga AS baik untuk perekonomian domestik maupun perekonomian global. (hm)