Berita / / Artikel

Indonesia Dapat Rating Upgrade S&P, Ini 4 Faktor Ekonomi Pendorongnya

• 20 May 2017

an image
ilustrasi bond market bullish, Copyright: <a href='https://www.123rf.com/profile_talithait'>talithait / 123RF Stock Photo</a>

S&P menaikkan rating Indonesia dari BB+ menjadi BBB-

Bareksa.com – Lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's (S&P) menaikkan peringkat surat utang Indonesia menjadi layak investasi (investment grade), yang langsung menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan nasional. Sejumlah data ekonomi yang membaik menjadi dasar pertimbangan dari peningkatan (upgrade) peringkat tersebut.

Pada Jumat 19 Mei 2017, S&P mengumumkan peningkatan rating Indonesia menjadi BBB- dengan stable outlook dari sebelumnya hanya BB+ dengan outlook positif. Para pelaku pasar  merespon positif keadaan ini dan berhasil mengantarkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa. (Baca juga: S&P Upgrade Rating Indonesia Menjadi BBB-, IHSG Sentuh Rekor 5.800)

Lembaga rating tersebut dalam laporannya menyebutkan sejumlah faktor yang menjadi latar belakang upgrade ini, termasuk perbaikan fiskal, program pengampunan pajak (tax amnesty) yang terbilang sukses, dan ekspor Indonesia.

"Fokus baru pemerintah terhadap anggaran yang realistis telah menurunkan risiko defisit anggaran akan meningkat signifikan saat pendapatan negara tidak mencapai target," tulis S&P dalam laporannya.

Bareksa melihat, secara lebih rinci ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan S&P dalam mengambil keputusan tersebut, yakni antara lain :

1. Kinerja Ekspor Kian Membaik

Sejak Januari 2016, neraca perdagangan Indonesia selalu mengalami surplus, meskipun nilai perdagangan global memang sedang melemah. Artinya, nilai ekspor Indonesia selalu lebih tinggi dibandingkan dengan impor. Data Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia untuk periode bulan April menunjukkan surplus sebesar US$1,24 miliar.

Grafik : Pertumbuhan Ekspor Indonesia (US$ Juta)

Sumber : Bareksa.com

Berdasarkan data yang disajikan oleh Bareksa, terlihat pertumbuhan ekspor Indonesia terus menunjukkan peningkatan dalam kurang dari setahun terakhir. Terhitung sejak Juli 2016 hingga bulan April 2017, terlihat adanya pertumbuhan nilai ekspor secara nominal mencapai 27,6 persen menjadi US$13,1 miliar.

2. Tax Amnesty Tergolong Sukses

S&P beranggapan bahwa pemerintah Indonesia berhasil memperoleh dana lebih dari US$11 miliar dalam program ini dan hal tersebut dinilai sukses. Dana tersebut dinilai bisa untuk meringankan tekanan pada pengeluaran pemerintah di tengah kebutuhan dana akan proyek infrastruktur.

3. Pemotongan Anggaran Belanja Pemerintah

Sementara itu, S&P juga melihat bahwa keputusan Presiden Joko Widodo untuk memotong beberapa pos anggaran yang dinilai kurang efisien dan lebih menaruh fokus terhadap beberapa sektor terkhusus infrastruktur dianggap mampu membawa arah kebijakan fiskal lebih sehat.

Komponen yang disoroti sekarang adalah belanja barang, seperti untuk pembangunan gedung ataupun kendaraan dan perjalanan dinas. Dalam APBN 2017, nilainya mencapai Rp 296,2 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belanja yang akan dimungkinkan dipangkas adalah sebesar Rp 34 triliun. Penghematan anggaran ini akan dialokasikan kepada sektor infrastruktur.

4. Posisi Cadangan Devisa tertinggi dalam 5 Tahun Terakhir

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa Indonesia akhir April 2017 telah mencapai US$123,24 miliar. Angka ini meningkat dibandingkan bulan sebelumnya dan juga menembus rekor tertinggi sejak enam tahun terakhir ini.

Dengan nilai cadangan devisa yang tinggi itu, Pemerintah mampu untuk membiayai 8,9 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Angka ini berada jauh di atas standar kecukupan internasional yaitu harus memiliki kemampuan minimal pembayaran 3 bulan impor.

Grafik : Pertumbuhan Cadangan Devisa Indonesia (US$ Miliar)

Sumber : Bank Indonesia, diolah Bareksa

S&P mengatakan bahwa adanya pemotongan anggaran yang dilakukan oleh Presiden Jokowi memungkinkan akan menjaga kebijakan defisit fiskal Indonesia kurang dari 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (GDP) dalam 3 – 4 tahun ke depan. Tak hanya itu, lembaga pemeringkat ini juga percaya bahwa utang bersih pemerintah terhadap GDP masih mampu dijaga di bawah 30 persen. Sekedar informasi, saat ini rasio utang pemerintah terhadap GDP masih berkisar 27,9 persen di akhir tahun 2016.

“Terlepas dari kerentanan ekonomi yang lebih luas terhadap guncangan eksternal atau luar negeri, kami menganggap keuangan publik yang kuat merupakan landasan peringkat investment grade kami terhadap Indonesia," tulis S&P. (hm)

Tags: