Sembuh Dari 'Alergi' Biayai Infrastruktur, BCA Tetap Andalkan DPK

Bareksa • 14 Mar 2017

an image
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja berbincang dengan wartawan di sela-sela Analyst Meeting Kinerja Tahun 2016 di Jakarta, Senin (13/3)

BCA memilih tenor maksimal 15 tahun untuk penyaluran kredit infrastruktur

Bareksa.com – Tingginya permintaan kredit dari sektor infrastruktur membuat PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) bertekuk lutut. Bank milik Grup Djarum ini akhirnya membuka diri untuk ikut serta menyalurkan pembiayaan ke infrastruktur, meski memilih untuk tetap mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) sebagai sumber pendanaan.

Dalam waktu dekat, BCA segera melakukan penandatanganan kesepakatan penyaluran kredit secara sindikasi untuk membiayai proyek milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN. Pembiayaan proyek yang merupakan bagian dari mega proyek 30.000 MW ini diperkirakan bernilai Rp12 triliun.

“BCA mengambil bagian sekitar Rp2,5 triliun sampai Rp3 triliun,” kata Direktur BCA Rudy Susanto, Senin, 13 Maret 2017.

Rudy pun bercerita mengapa akhirnya BCA ikut berkontribusi dalam pembiayaan infrastruktur. Pasalnya, selama ini BCA terkenal ‘alergi’ membiayai infrastruktur karena skema pembiayaannya jangka panjang, sementara pendanaan BCA didominasi jangka pendek.

Rudy menjelaskan, perlu proses bertahun-tahun untuk akhirnya terlibat pembiayaan infrastruktur. Terutama dalam menganalisa dana-dana di produk giro, tabungan, dan deposito yang biasa mengendap lama di BCA.

“Dari DPK, kami terus pelajari berapa banyak yang keluar dan berapa banyak yang mengendap. Sampai pada titik tertentu, kami akhirnya yakin untuk masuk ke infrastruktur,” ucap Rudy.

Agar meminimalisir mismatch antara pendanaan dan pembiayaan, Rudy menegaskan, BCA memilih kredit infrastruktur dengan tenor maksimal 15 tahun. Tidak hanya itu saja, proyek infrastruktur yang dibiayai BCA juga harus menunjukkan cash flow yang jelas.

Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja menambahkan, pihaknya tidak memilih untuk mencari pendanaan jangka panjang karena justru akan membebani perusahaan terkait biaya yang mahal. “Istilahnya kami seperti retrade funding jangka pendek. Semua pembiayaan tetap berasal dari DPK,” imbuh Jahja.

Dalam pembiayaan infrastruktur, Jahja juga akan terus mengevaluasi kapan bisa melakukan window exit. Salah satu yang dipantau adalah bagaimana perusahaan yang menangani proyek itu akan mencari pendanaan baru dari pasar modal.

Portofolio Kredit

Selama ini, BCA lebih dikenal sebagai bank komersial. Hingga akhir 2016, portofolio pembiayaan komersial dan usaha kecil menengah/SME BCA mencapai Rp151,85 triliun atau 36,48 persen dari total kredit BCA yang mencapai Rp416,28 triliun.

Selain komersial dan SME, BCA juga punya bagian besar membiayai segmen korporasi dengan nilai Rp154,87 triliun atau 37,2 persen dari total kredit. Dan sisa portofolio BCA mengalir ke segmen konsumer dengan nilai Rp109,55 triliun.

Tabel: Komposisi Kredit BCA Periode 2014-2016

Sumber: Bahan presentasi perseroan

Secara total, kredit BCA pada 2016 hanya naik 7,3 persen dari periode akhir 2015 Rp388,01 triliun. Dari catatan itu, kredit korporasi dan konsumer BCA menjadi penyokong dengan pertumbuhan masing-masing 9,6 persen dan 9 persen.

Sementara itu, di tengah peningkatan beban cadangan, BCA konsisten membukukan pertumbuhan laba bersih. Per akhir 2016, nilainya mencapai Rp20,61 triliun atau naik 14,4 persen dari periode akhir 2015 Rp18,02 triliun.

Adapun provisi BCA pada periode ini mencapai Rp4,56 triliun atau naik 30,1 persen dari sebelumnya Rp3,5 triliun. (hm)