Studi Deloitte: Ekonomi Digital Bisa Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 7%

Bareksa • 25 Apr 2016

an image
Presiden Joko Widodo mendengarkan penjelasan Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara (ketiga kiri) didampingi Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution (kiri) tentang Program e-commerce bagi UMKM saat meninjau stand Nurbaya Initiative dan PT Kantor Pos di Desa Larangan, Brebes, Jawa Tengah, Senin (11/4). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Proses digitalisasi UKM diproyeksikan dapat memberikan tambahan 2% pertumbuhan perekonomian nasional.

Bareksa.com – Laporan studi Deloitte mengungkap temuan mengagetkan. Bunyinya: ekonomi Indonesia yang saat ini diproyeksikan bertumbuh 5 persen, sebetulnya bisa melesat menjadi 7 persen. Tambahan 2 persen bisa didapat jika Indonesia serius mendorong pengembangan teknologi digital dan Internet untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Penelitian Deloitte itu dilakukan dengan mensurvei 437 UKM yang tersebar di Indonesia pada tahun 2015. Metode perhitungannya menggunakan permodelan ekonomi (economic modelling) yang mengukur hubungan antara variabel keterlibatan digital UKM dan kinerja bisnis mereka. Selain itu, juga dimasukkan beberapa variabel penjelas lain seperti ukuran bisnis, tingkat lapangan kerja saat ini, jenis industri, dan lokasi.

Proyeksi Deloitte itu didasarkan pada dua hal. Pertama, sebagaimana ditunjukkan riset OECD tahun 2012, UKM secara tradisional mampu menyumbang 57 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) plus 97 persen jumlah lapangan kerja di Indonesia. Yang kedua, proyeksi Bank Dunia yang dirilis tahun 2009 telah menunjukkan bahwa setiap kenaikan 10 persen penetrasi pitalebar (broadband) akan memicu percepatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1,38 persen di negara berkembang.

Berdasarkan itu, Deloitte membuat proyeksi bahwa dengan menggandakan penetrasi broadband serta meningkatkan keterlibatan UKM secara digital, maka pertumbuhan ekonomi nasional dapat didongkrak sebesar 2 persen lagi, untuk mendukung upaya pemerintah mencapai target pertumbuhan 7 persen di tahun 2025 mendatang.

Ketua Asosiasi e-Commerce Indonesia, Daniel Tumiwa, sependapat dengan proyeksi studi Deloitte tersebut, apalagi jika melihat nilai transaksi ritel online yang pertumbuhannya mencapai 300-400 persen per tahun.

Hanya saja, memang, nilai transaksi online saat ini baru 1 persen dari total nilai transaksi ritel di Indonesia. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat nilai transaksi e-commerce pada tahun 2014 baru mencapai angka US$12 miliar atau setara Rp156 triliun, dengan asumsi kurs Rp13.000 per US$.

Untuk itu, Daniel menekankan ada satu pekerjaan rumah yang perlu segera dikerjakan, yakni edukasi. Di lapangan, ia mendapati masih banyak warga yang bahkan tidak paham dan sadar soal apa itu Internet. “Saya tanya sudah pakai Internet belum, dijawab 'nggak'. Tapi, saat ditanya main Facebook nggak, jawabannya mantap: 'main'. Jadi, hal yang mendasar saja mereka tidak paham,” kata Daniel.

Besarnya manfaat teknologi telah dirasakan oleh UKM yang sudah menekuni penjualan online. Survei Deloitte terhadap UKM di tahun 2015 itu menunjukkan bahwa UKM yang sudah online berhasil memperoleh pendapatan 80 persen lebih tinggi dibandingkan UKM konvensional. Rata-rata UKM konvensional hanya membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 13 persen, sementara UKM online pertumbuhan pendapatannya rata-rata mencapai 23 persen.

Potensi membuka kesempatan kerja juga 1,5 kali lebih besar dibandingkan UKM yang masih konvensional, seiring dengan meningkatnya permintaan atas produk mereka. Selain itu, dengan meningkatnya akses yang bisa didapatkan UKM online--baik berupa pasar baru di wilayah Indonesia maupun pasar ekspor ke luar negeri--membuat produk UKM online memiliki kemungkinan 17 kali lebih inovatif dibandingkan yang konvensional.

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara mengatakan pemerintah saat ini memposisikan teknologi Internet sebagai pemberdaya ekonomi (economic enabler). Di tahun 2020 mendatang, pemerintah menargetkan transaksi e-commerce dapat mencapai US$130 miliar atau setara dengan Rp1.690 triliun. Untuk mencapai angka itu, diperlukan pertumbuhan 50 persen per tahun. Akan tetapi, jika memakai asumsi kisah sukses di China yang pertumbuhan rata-ratanya menembus 67,9 persen per tahun, maka transaksi e-commerce Indonesia di tahun 2020 memiliki potensi hingga US$240 miliar.

Grafik: Proyeksi Nilai Transaksi E-commerce Indonesia (US$ Miliar)

Sumber: Riset EY

Menimbang besarnya manfaat dan potensi UKM online ini, diperlukan adanya ekosistem yang mendukung. Daniel mengungkapkan saat ini penyedia platform e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, dan lainnya, masih mengandalkan subsidi dari investor untuk menopang biaya perusahaan. Untuk itu, dia merekomendasikan agar pemerintah perlu memberikan insentif bagi investor yang menanamkan modal di perusahaan-perusahaan start-up digital di Indonesia.

Kementerian Kominfo sedang mendorong mekanisme agar perusahaan start-up digital dapat melantai di Bursa Efek Indonesia. Hal ini antara lain untuk memberikan kepastian bagi investor ihwal exit strategy.

5 area digitalisasi UKM

Studi Deloitte juga merekomendasikan pemerintah untuk mendorong digitalisasi UKM di 5 area.

Pertama, meningkatkan akses pitalebar (broadband). Dalam hal ini, jaringan telepon seluler menjadi kunci karena dapat membantu meningkatkan mobilitas dan area cakupan broadband. Di Indonesia keterjangkauan mobile broadband melalui telepon genggam lebih baik dibandingkan akses melalui fixed broadband.

Kedua pemerintah perlu membantu UKM untuk bertransformasi menjadi bisnis digital, antara lain dengan meningkatkan koordinasi antar instansi di area UKM. April lalu, Presiden Joko Widodo telah meluncurkan Program Sinergi Aksi untuk Ekonomi Rakyat yang melibatkan 8 kementerian. Salah satu program utamanya adalah mengenalkan sistem pemasaran produk hasil pertanian melalui sistem online.

Ketiga, pemerintah perlu membantu memperluas akses pembiayaan bagi UKM online, yang selama ini terhambat antara lain dengan persyaratan menyerahkan jaminan berupa sertifikat tanah. Diharapkan, catatan penjualan online dapat digunakan perbankan sebagai tolok ukur untuk menghitung risiko bisnis UKM sehingga bisa meringankan syarat jaminan dalam pengajuan kredit.

Keempat, layanan e-Goverment dapat diperluas.

Yang terakhir, kelima, peningkatan akses UKM terhadap sistem pembayaran elektronik untuk memudahkan transaksi e-commerce. (AD | kd)