Moratorium Sawit Jokowi: Bisakah Perkebunan Sawit Menggenjot Produktivitas?

Bareksa • 25 Apr 2016

an image
Presiden Joko Widodo menjawab sejumlah pertanyaan dari wartawan di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (19/10). ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/ama/15.

Upaya perbaikan kebun kelapa sawit rakyat masih memerlukan waktu yang sangat panjang

Bareksa.com – Presiden Joko Widodo berencana melakukan lagi moratorium (menghentikan sementara) pembukaan baru perkebunan kelapa sawit. Alasannya menjaga kelestarian lingkungan dan lahan sawit yang ada saat ini dinilai sudah cukup luas.

Para produsen kelapa sawit sudah memperkirakan bila moratorium tersebut jadi diterapkan dampaknya ekspansi lahan dan perkebunan kelapa sawit akan berkurang dua ratusan hektare per tahun. Kondisi itu pada gilirannya akan mengurangi produksi buah kelapa sawit dan mengerek harga minyak kelapa sawit (crude palm oil) di pasar dunia akibat berkurangnya pasokan dari Indonesia. Daya saing kelapa sawit Indonesia juga diperkirakan akan melemah.  (lihat : Pemerintah Akan Moratorium Lagi Pembukaan Lahan Sawit, Ini Dampaknya)

Tersendatnya ekspansi lahan memang masih bisa diatasi dengan peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit. Pertanyaannya bisakah produsen kelapa sawit di Tanah Air meningkatkan produktivitas tanamannya?

Menyandang predikat sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia ternyata tidak otomatis membuat produktivitasnya juga yang terbaik di jagat ini. Produktivitas kelapa sawit Indonesia justru masih kalah dibandingkan dengan Malaysia. Di Negeri Jiran, produktivitas kebun kelapa sawit bisa mencapai 4,19 ton per hektare pada 2014, berdasarkan data Malaysia Productivity Corporation.

Adapun produktivitas kebun kelapa sawit Indonesia, menurut Hasril Siregar, peneliti dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PKPS), rata-rata hanya sekitar 3 ton per hektare. Program intensifikasi untuk mencapai 5 ton per hektare untuk mencapai produksi 45 juta ton kelapa sawit pada 2024, akan terkendala dengan tingkat produksi rata-rata perkebunan rakyat yang masih mencapai 2,5 ton per hektare.

Data yang disebut Hasril tak jauh berbeda dengan data Direktorat Jenderal Perkebunan. Dalam 10 tahun terakhir produktivitas kebun sawit rakyat rata-rata 2,35 ton per hektare, sedangkan perkebunan swasta 3,11 ton per hektare dan perkebunan negara 2,72 ton per hektare (lihat grafik).

Grafik : Produktivitas Kebun Kelapa Sawit di Indonesia


Keterangan : PR : Perkebunan Rakyat; PS : Perkebunan Swasta ; PN : Perkebunan Negara
Sumber : Ditjen Perkebunan (diolah)

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Tofan Mahdi mengatakan dari sekitar 10,5 juta hektare lahan sawit, sekitar 42 persennya merupakan milik petani atau masyarakat (smallholder), sisanya milik perusahaan perkebunan kelapa sawit swasta dan badan usaha milik negara—milik sejumlah PT Perkebunan Nusantara/PTPN).

Perusahaan sawit (swasta dan BUMN) relatif bisa meningkatkan produktivitas kebun melalui program intensifikasi, seperti riset, water management, bibit unggul dan lainnya). “Bagaimana dengan kebun rakyat? Rasanya cukup sulit. Untuk itu peran pemerintah sangat penting,” ujarnya kepada Bareksa.

Jika moratorium jadi dilaksanakan, kata Hasril, harus ada percepatan intensifikasi. Namun, upaya perbaikan kebun kelapa sawit rakyat masih memerlukan waktu yang sangat panjang. Akar masalah di perkebunan rakyat adalah penggunaan bibit tidak unggul dan illegitim (non resmi) dengan produksi rendah, serta  kultur teknis kelapa sawit yang masih kurang. “Transfer teknologi untuk intensifikasi kepada perkebunan rakyat juga masih belum berjalan maksimal,” ujarnya.

Ini artinya peningkatan produktivitas, khususnya perkebunan rakyat, memang menjadi pekerjaan rumah (PR) terberat bagi pemerintah.