Faisal Basri: Pengembangan Blok Masela di Darat Bisa Untungkan Grup Bakrie

Bareksa • 29 Jan 2016

an image
Produk pipa milik PT Bakrie Pipe Industries, anak usaha dari PT Bakrie and Brothers Tbk (BNBR). Sumber: Bakrie Pipe Industries

Skema floating memberikan bagian pemerintah dapat 70 persen, swasta 30 persen

Bareksa.com - Pemerintah masih belum belum memutuskan juga skema pengembangan lapangan minyak gas (migas) di Blok Masela, Perairan Arafura, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kabinet sendiri terbagi atas dua kubu, kubu Rizal Ramli yang menginginkan pengembangan di darat dan kubu Sudirman Said yang ingin tetap di laut.

Masing-masing memiliki argumen kuat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menilai proyek terapung di laut (offshore) akan lebih murah investasinya. Di sisi lain, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli berkukuh bahwa pengembangan di darat (onshore) akan memakan biaya operasi lebih rendah dengan potensi masyarakat sekitar lokasi ikut berkembang.

Adu argumen di antara anggota kabinet jelas membingungkan investor dan menghambat kinerja lapangan migas tersebut. Saat ini, Blok Masela dikelola oleh PT Inpex Masela Limited (65 persen) dan Shell Upstream Overseas Services Ltd (35 persen). Terantuk polemik itu, keputusan mengenai blok tersebut seharusnya diambil sejak Oktober 2015.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menilai bahwa apapun skemanya baik di darat ataupun di laut tidak masalah bagi investor. Investor hanya memastikan internal rate of return (IRR) sebesar 15 persen. Semakin besar tingkat IRR, semakin menarik dan menguntungkan proyek tersebut bagi investor.

Akan tetapi, yang harus diperhatikan menurut Faisal adalah pembagian keuntungannya. Selama ini, dengan skema terapung, pemerintah mendapat bagian 70 persen dan swasta atau investor sebesar 30 persen. Di sisi lain, dengan skema pengembangan darat, yang diterima pemerintah akan lebih kecil.

"Kalau floating (terapung) nanti pemerintah dapat 70 persen, swasta 30 persen. Tapi kalau onshore pemerintah cuma dapat 10 persen dan investor 90 persen. Kenapa? Karena untuk mempertahankan IRR tetap di 15 persen ongkosnya lebih besar," ujarnya ketika ditemui Bareksa.com.

Dia menjelaskan bahwa penghitungan IRR adalah pendapatan dikurangi cost, sementara di Indonesia ada skema cost recovery yang ditanggung pemerintah. Dengan skema floating liquefied natural gas (FLNG), letak pengembangan akan dekat ke mulut gas. Akan tetapi dengan skema onshore liquefied natural gas (OLNG) facility, perlu digunakan pipa untuk mengalirkan gas dari mulut sumur.

Faisal menyebutkan bahwa dengan skema OLNG ada potensi Grup Bakrie akan diuntungkan karena akan menjadi pihak yang menyediakan pipa gas, melalui PT Bakrie Pipe Industries (BPI). Dengan skema itu, recovery cost akan masuk ke kantong Bakrie dan bagian pemerintah tinggal 10 persen saja.

"Lebih baik daripada dimakan Bakrie dari 70 persen itu masuk 20 persen ke rakyat daripada dapat 10 persen saja. Ini kan akal sehat. Tinggal kita cari ahlinya. Jangan pura-pura jadi ahlinya," katanya.

BPI adalah anak usaha dari PT Bakrie and Brothers Tbk (BNBR) yang berdiri sejak 1979. Per 30 September 2015, BPI memiliki aset senilai Rp2,6 triliun berdasarkan laporan keuangan BNBR. BPI memproduksi berbagai macam pipa mulai untuk keperluan migas, air, telepon, listrik, konstruksi dan lain-lain.

Saat ini, BPI mengoperasikan lima pabrik dengan kemampuan berbeda. Perseroan mengklaim menguasai 60 persen pangsa pasar pipa migas di Indonesia dengan klien terkemuka termasuk ConocoPhilips, Chevron, Kodeco dan Medco.  

Blok Masela ini sebelumnya juga pernah berkaitan dengan Grup Bakrie melalui PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG). Dulu, Inpex asal Jepang adalah pengelola tunggal Blok Masela. Pada November 2010, ENRG masuk ke Masela dan memegang 10 persen participating interest.

Tidak lama kemudian, ENRG menjual bagiannya di Blok Masela senilai US$313 juta dan mendapatkan untung tiga kali lipat dari harga pembeliannya. ENRG menggunakan dana itu untuk membayar utang dan sudah tidak memegang saham di blok migas tersebut sama sekali.

Sekadar mengingatkan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak Gas (SKK Migas) pada 10 September 2015 telah menyampaikan surat rekomendasi revisi PoD I Lapangan Abadi Blok Masela kepada Menteri ESDM. Revisi bertujuan untuk pengembangan lapangan Abadi dan komersialisasi Blok Masela serta memproduksikan cadangan gas sebesar 10.37 TCF sampai dengan 2048. Ruang lingkup revisi adalah pengeboran 9 sumur pengembangan dan pembangunan fasilitas produksi berupa subsea production system, FLNG kapasitas 7.5 MTPA dan logistic supply base.

Sebelumnya, berdasarkan kajian SKK Migas, secara teknis, waktu yang diperlukan untuk pengembangan Blok Masela di darat maupun laut relatif sama sekitar 45-50 bulan. Selain itu, dari aspek ekonomi, berdasarkan perhitungan 2013, untuk pengembangan di darat dibutuhkan biaya US$ 19,3 miliar. Adapun di laut investasinya sebesar US$ 14,8 miliar.

Di sisi lain, Rizal Ramli mengatakan bahwa asumsi pembangunan floating LNG Masela senilai US$22 miliar. Namun, berbekal asumsi biaya riil sejumlah kilang LNG darat yang ada, perkiraan biaya LNG darat Masela sekitar US$16 miliar, termasuk biaya pembangunan jalur pipa ke darat.

Blok ini memiliki luas area lebih kurang 4.291,35 km persegi, terletak di Laut Arafura, sekitar 800 km sebelah timur Kupang, Nusa Tenggara Timur atau lebih kurang 400 km di utara kota Darwin, Australia, dengan kedalaman laut 300 - 1.000 meter. Kontrak kerja sama Blok Masela ditandatangani pada 16 November 1998 dan mendapat persetujuan PoD I pada 6 Desember 2010.

Direktur Utama Bakrie Pipe Industries Mas Wigrantoro Roes Setiyadi mengatakan tidak bisa menanggapi mengenai Bakrie yang akan diuntungkan oleh proyek ini.

"Saya terus terang tidak tahu harus menjawab apa, tapi sebagai pebisnis kami menjajaki semua kesempatan bisnis yang ada," katanya kepada Bareksa.

Proyek Masela, kata Mas Wigrantoro, paling cepat dimulai dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Untuk itu, perseroan akan lebih fokus dengan proyek yang sudah ada saat ini. "Kami sudah bekerja lama di bidang ini, kalau untuk proyek Masela kami bisa karena spesifikasinya kurang lebih sama dengan proyek Tangguh," katanya.

Mengenai keputusan akan menggunakan FLNG atau OLNG, Mas Wigrantoro mengatakan masih menunggu keputusan dari .pemerintah. "Tetapi kalau pemerintah ingin menegakkan kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) kami senang," ujarnya.