Bareksa.com - Dalam mendanai mega proyek infrastruktur, pemerintah cenderung mengandalkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) daripada mengeluarkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Itulah yang terjadi pada proyek kereta cepat Jakarta - Bandung yang akhirnya dibatalkan karena pemerintah tidak menginginkan adanya kontribusi APBN dalam proyek tersebut.
Dengan kata lain, pemerintah mendorong BUMN untuk menerbitkan surat utang untuk mendanai megaproyek infrastruktur. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, seperti dikutip sejumlah media di Tanah Air mengatakan BUMN boleh mengerjakan proyek kereta cepat jika memiliki modal sendiri, atau menerbitkan obligasi.
"Boleh kalau dia (BUMN) punya modal (sendiri) atau terbitkan obligasi," ujarnya seperti dikutip Metrotvnews.com.
Permasalahannya obligasi yang diterbitkan BUMN pasti memiliki tingkat bunga yang jauh lebih tinggi (mahal) dibanding bunga utang bilateral yang biasa diperoleh pemerintah. Berdasarkan data yang dikompilasi Bareksa dari beberapa BUMN, diketahui tingkat bunga rata-rata yang harus dibayar perusahaan-perusahaan negara berkisar 5 – 8 persen per tahun.
Misalnya, PT Jasa Marga Tbk (JSMR) pada 2006 menerbitkan obligasi senilai total Rp261 miliar untuk mendanai proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR). Tingkat bunga yang harus dibayar BUMN operator jalan tol ini mencapai 11 - 15 persen per tahun. Pada 2014, JSMR juga tercatat menerbitkan obligasi senilai Rp1 triliun untuk restrukturisasi dan modal kerja dengan tingkat bunga sebesar 9,85 persen per tahun atau senilai Rp98,5 miliar per tahun.
Contoh lain PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) yang tahun lalu menerbitkan obligasi $1,3 miliar untuk mendanai keperluan modal kerja perusahaan. Obligasi tersebut memiliki tingkat bunga 5,12 persen per tahun atau senilai $66,5 juta per tahun.
Tabel: Daftar BUMN Penerbit Obligasi Tahun 2014
sumber: Bareksa
Pembiayaan yang ditarik oleh BUMN ini cukup mahal jika dibandingkan dengan utang bilateral maupun multilateral yang biasa didapatkan pemerintah.
Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Dunia berkomitmen memberi pinjaman sampai dengan Rp224 triliun. Sebagaimana telah diberitakan, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, Sofjan Wanandi, mengatakan bunga pinjaman dari Bank Dunia dan ADB hanya berkisar 1-2 persen dari pokok utang. (Baca Juga: Defisit Anggaran Mulai Melebar Lagi, Sinyal Positif Buat Perekonomian?)
Selain lebih murah, ruang yang dimiliki pemerintah untuk menarik pendanaan atau utang luar negeri juga masih cukup lebar. Pasalnya, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia termasuk paling rendah di antara negara-negara kawasan Asia Pasifik.
Grafik: Utang Pemerintah Terhadap PDB
sumber: Tradingeconomics.com
Rata-rata negara Asia Pasifik memiliki nilai utang 43 persen dari PDB negaranya. Dari grafik di atas terlihat bahwa rasio utang tertinggi dimiliki India, di mana utang pemerintah mencapai 65 persen dari PDB. Bahkan negara maju seperti Jepang memiliki nilai utang yang sangat fantastis sebesar 230 persen dari PDB negaranya.
Sementara itu, utang yang dimiliki pemerintah Indonesia sampai Desember 2014 hanya sebesar 25 persen dari PDB. Hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia masih memiliki ruang yang cukup lebar untuk menarik utang dari luar negeri.