Peraturan TV digital direvisi, pemain lama bakal terancam?

Bareksa • 09 Jan 2014

an image
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring (ANTARA FOTO/Dhoni Setiawan)

Sejumlah hal belum jelas, mulai dari tenggat peralihan sampai spesifikasi dan pembebanan biaya set-top box.

Bareksa.com - Sebagaimana dilaporkan harian Investor Daily, 6 Januari 2013, Kementerian Komunikasi dan Informatikan (Kominfo) telah menyetujui revisi peraturan tentang digitalisasi TV di Indonesia. Peraturan yang baru ini akan menggantikan Peraturan Menkominfo No. 22/2011 yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena dinilai melanggar UU No. 32/2002 tentang Penyiaran. Revisi ini diharapkan akan menciptakan kepastian bagi stasiun-stasiun TV dalam kaitannya dengan lelang lisensi multiplexing.

Dipaparkan Hendri Prasetyo, analis PT Jisawi Finas, kepada Bareksa.com, Permenkominfo No. 22/2011 tersebut menginduk kepada UU Penyiaran No. 32/2002. Namun, dalam UU itu sama sekali tidak disebutkan tentang siaran televisi digital. Atas dasar inilah, maka pada Mei 2013 lalu MA membatalkannya.

Dalam laporannya, Ferry Wong dan Henry Wibowo, analis PT Citigroup Securities Indonesia, menganalisa dampak revisi ini. Mereka menilai hal ini bisa berdampak pada meningkatnya kompetisi karena barriers to entry jadi dipangkas. Berdasarkan Permenkominfo ini, stasiun-stasiun TV baru dan TV Free to Air (FTA) lokal yang telah ada, bisa tinggal menyewa sub-kanal frekuensi digital untuk bersiaran (satu kanal: 6/12 saluran HD) dari pemenang tender lisensi jaringan dan mengudara secara nasional, dengan menyewa di seluruh provinsi. Bandingkan dengan saat ini di mana nyaris tidak mungkin lagi memperoleh lisensi FTA TV yang baru, terkecuali mengakuisisi stasiun TV FTA yang sudah ada. Patut dicatat, lisensi terakhir diterbitkan pemerintah lebih dari 12 tahun lalu. Karena kendala inilah, terbentuk pasar oligopoli TV di Indonesia, dikuasai oleh "The Big Four": PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN), PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK), PT Televisi Transformasi Indonesia, dan PT Visi Media Asia Tbk (VIVA).

Hanya saja, mereka melihat kompetisi yang sempurna belum akan tercipta dalam waktu dekat. Masalahnya sekarang bukan lagi soal lisensi, tapi sanggupkah pemain baru di industri ini menyiapkan konten yang sanggup menarik pemirsa dan pengiklan. 

Selain itu, menurut Ferry dan Henry ada tiga poin penting dalam revisi regulasi tersebut yang masih belum jelas. Pertama, tidak ada batas waktu yang pasti kapan peralihan sistem analog ke digital akan dilakukan di industri televisi (deadline sebelumnya adalah di tahun 2018). Kedua, keberadaan organisasi Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) akan dihapus, diganti dengan Lembaga Penyiaran Penyelenggara Program Siaran (LPPPS). Fungsi kedua lembaga itu sebenarnya sama: mengatur lelang lisensi. Ketiga, pemerintah akan menetapkan pembagian wilayah lisensi TV digital berdasarkan provinsi (sebelumnya berdasarkan zona). Jumlah provinsi saat ini ada 33, sementara sebelumnya hanya ditetapkan 15 zona. Regulasi tersebut juga belum jelas mengatur soal spesifikasi dan pembebanan biaya set-top box.

Memperkuat kesangsian Ferry dan Henry, Head of Research PT Oso securities, Muhammad Supriyadi, kepada Bareksa.com menyatakan pemerintah harus memperbaiki dulu infrastruktur sebelum menetapkan peralihan ke TV digital. (kd)