BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Benarkah China Jadi Pemicu Krisis Ekonomi ke Depan?

02 September 2015
Tags:
Benarkah China Jadi Pemicu Krisis Ekonomi ke Depan?
An investor takes notes in front of an electronic board showing stock information at a brokerage office in Beijing, China, July 7, 2015. REUTERS/Kim Kyung-Hoon

Walaupun melemah tetapi fundamental ekonomi China masih kuat menurut Jos Parengkuan.

Bareksa.com – Setelah China mendevaluasi mata uangnya, rupiah tertekan hingga hampir menuju level krisis 1998 lalu. Apakah ini pertanda Negeri Panda tersebut akan memicu babak krisis baru?

Jos Parengkuan, Direktur Utama PT Syailendra Capital yang memiliki pengalaman di pasar modal lebih dari 25 tahun memberi ilustrasi menebak gelas yang isinya setengah air.

“Menurut kamu isi di gelas itu setengah penuh atau setengah kosong?, begitulah keadaan ekonomi saat ini, relatif dengan penilaian sendiri. Jika kita menganggap setengah kosong artinya kita pesimis bahwa krisis ekonomi masih akan berlanjut. Tetapi sebaliknya jika kita menganggap setengah penuh artinya kita optimis ekonomi akan pulih,” kata Jos kepada analis Bareksa.com.

Promo Terbaru di Bareksa

Jos optimistis dampak dari dilonggarkannya kebijakan moneter China juga akan mendorong ekonomi Indonesia, terutama dari sisi ekspor.

Walaupun China mendevaluasi mata uangnya, tetapi ekonomi mereka masih kuat. Salah satunya tercermin dari besarnya cadangan devisa.

Sejak Juli 2014 hingga Juli 2015, cadangan devisa China memang merosot $350 miliar, tetapi cadangan devisa China masih tetap tinggi di posisi $3,6 triliun.

Illustration
Sumber: Trading Economics

Cadangan devisa China naik signifikan dibanding awal 2002 yang hanya mencapai $217 miliar. Artinya hampir 14 tahun mengalami kenaikan per tahun hingga 113 persen. Amerika Serikat saja per Juli 2015 hanya memiliki cadangan devisa $119 miliar.

Selain itu, 25 Agustus 2015 lalu, China juga kembali memberi stimulus dengan memangkas giro wajib minimum 50 basis poin menjadi 17,5 persen serta memangkas suku bunga pinjaman dan simpanan 25 basis poin menjadi 3,6 persen.

Walaupun sudah dipangkas, tetap saja China masih memimpin nilai giro wajib minimum terbesar. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 8 persen. Artinya masih banyak ruang bagi China untuk memberi stimulus moneter guna mendorong pertumbuhan ekonominya.

Tetapi Jos juga memperingatkan bahwa China juga masih memiliki potensi untuk kembali melakukan devaluasi.

Secara year-to-date, Yuan, mata uang China hanya melemah sekitar 4 persen. Sementara yen Jepang sudah melemah lebih dari 14 persen. Begitu juga dengan mata-mata uang negara-negara anggota ASEAN yang rata-rata sudah melemah lebih dari 10 persen.

Grafik Mata Uang Terhadap Dolar Amerika Periode 1 September 2014 - 1 September 2015
Illustration
Sumber: yahoo finance, diolah Bareksa.com

Hal ini tentu membuat produk dari China kurang kompetitif dibandingkan dengan negara lain yang menyebabkan ekspornya jebol akibat China tetap menjaga volatilitas mata uang di sekitar 6,5 yuan per dolar Amerika.

Devaluasi yuan 4 persen saja telah membuat rupiah kembali melemah 4,2 persen menjadi Rp14.000 per dolar Amerika dan mendorong turunnya IHSG hingga ke titik terendah 4.163.

“Risiko saat ini jika China kembali melakukan devaluasi, tetapi jika China terus melonggarkan kebijakan moneternya tentu akan baik ke depannya untuk Indonesia,” kata Jos.

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah

1.314,83

Up0,43%
Up3,55%
Up0,02%
Up5,95%
Up19,11%
-

Capital Fixed Income Fund

1.764,51

Up0,56%
Up3,41%
Up0,02%
Up7,20%
Up17,66%
Up42,85%

STAR Stable Income Fund

1.915,47

Up0,53%
Up2,89%
Up0,02%
Up6,23%
Up30,99%
Up60,26%

Syailendra Pendapatan Tetap Premium

1.758,34

Down- 0,10%
Up3,14%
Up0,01%
Up4,70%
Up19,30%
Up47,85%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.038,12

Up0,08%
Up2,01%
Up0,02%
Up2,91%
Down- 1,48%
-
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua